Partisipasi pemilih di perkotaan meningkat, di pedesaan malah turun.
VIVAnews - Komisioner Komisi Pemilihan Umum, Sigit
Pamungkas, menyatakan partisipasi masyarakat dalam Pemilu 2014 sebesar
70 persen dari jumlah total warga yang punya hak pilih. Menurut dia,
angka itu menurun bila dibandingkan dengan Pemilu 2009, yaitu 72 persen.
"Memang kalau dilihat dari tren nasional mengalami penurunan, tapi kalau diletakkan dalam kerangka global partisipasi pemilu, 70 persen bukan angka yang buruk," kata Sigit di kantornya, Rabu 23 Juli 2014.
Meskipun secara kuantitas mengalami penurunan, Sigit menilai secara kualitas mengalami peningkatan. Dia mengungkapkan ada dua fenomena berbeda di Pemilu 2014 ini, yaitu meningkatnya semangat mengikuti pilpres di masyarakat perkotaan. Namun hal yang berbeda terjadi di masyarakat pedesaan.
"Jangkauan media, tim sukses untuk menggerakkan masyarakat di pedesaan yang terbatas membuat partisipasi menurun. Padahal pemilih kita sebagian di pedesaan," jelas Sigit.
Selain itu, lanjut Sigit, ada juga peningkatan jumlah relawan dalam pemilu kali ini. Baik relawan yang terafiliasi dengan capres-cawapres maupun yang tidak terafiliasi. Dia melihat kondisi ini sebagai babak baru pematangan demokrasi di Indonesia.
"Kesukarelaannya muncul, fenomena itu yang tidak ada pada pemilu sebelumnya," katanya.
Sigit menambahkan, magnet utama untuk meningkatkan partisipasi pemilu adalah kandidat capres dan cawapres. Jika kandidat menarik tapi tidak didukung mobilisator yang kuat maka tidak akan mampu menarik partisipasi pemilih.
Oleh karena itu, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada ini menilai penurunan partisipasi pemilih bukanlah tanggung jawab sepenuhnya dari KPU. Sebab, KPU bertugas sebagai fasilitator dan pihak yang menggerakan pemilih adalah kandidat capres-cawapres.
"Kerja utama adalah mesin partai dan kandidat. Mereka primer, KPU sekunder. Sesempurna apapun kerja KPU kalau kemampuan daya tarik dan mobilisasi peserta rendah, maka kerja KPU tidak akan mampu menarik," jelas Sigit.
"Memang kalau dilihat dari tren nasional mengalami penurunan, tapi kalau diletakkan dalam kerangka global partisipasi pemilu, 70 persen bukan angka yang buruk," kata Sigit di kantornya, Rabu 23 Juli 2014.
Meskipun secara kuantitas mengalami penurunan, Sigit menilai secara kualitas mengalami peningkatan. Dia mengungkapkan ada dua fenomena berbeda di Pemilu 2014 ini, yaitu meningkatnya semangat mengikuti pilpres di masyarakat perkotaan. Namun hal yang berbeda terjadi di masyarakat pedesaan.
"Jangkauan media, tim sukses untuk menggerakkan masyarakat di pedesaan yang terbatas membuat partisipasi menurun. Padahal pemilih kita sebagian di pedesaan," jelas Sigit.
Selain itu, lanjut Sigit, ada juga peningkatan jumlah relawan dalam pemilu kali ini. Baik relawan yang terafiliasi dengan capres-cawapres maupun yang tidak terafiliasi. Dia melihat kondisi ini sebagai babak baru pematangan demokrasi di Indonesia.
"Kesukarelaannya muncul, fenomena itu yang tidak ada pada pemilu sebelumnya," katanya.
Sigit menambahkan, magnet utama untuk meningkatkan partisipasi pemilu adalah kandidat capres dan cawapres. Jika kandidat menarik tapi tidak didukung mobilisator yang kuat maka tidak akan mampu menarik partisipasi pemilih.
Oleh karena itu, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada ini menilai penurunan partisipasi pemilih bukanlah tanggung jawab sepenuhnya dari KPU. Sebab, KPU bertugas sebagai fasilitator dan pihak yang menggerakan pemilih adalah kandidat capres-cawapres.
"Kerja utama adalah mesin partai dan kandidat. Mereka primer, KPU sekunder. Sesempurna apapun kerja KPU kalau kemampuan daya tarik dan mobilisasi peserta rendah, maka kerja KPU tidak akan mampu menarik," jelas Sigit.
0 komentar:
Posting Komentar