Soeharto Berziarah ke Cilacap di Malam Hari
Minggu, 31 Maret 2013 | 08:20 WIB
Soeharto. Tempo/Gunawan Wicaksono
- Jauh sebelum menjadi Presiden RI ke-2, Soeharto telah mendalami ilmu
kebatinan Jawa bersama Soedjono Hoemardani. Keduanya bergabung dalam
ikatan persaudaraan mistikal di Sendang Titis, Dusun Semanggi, Kelurahan
Bangunjiwo, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, DIY.
Di
kemudian hari, setiap Suro atau tahun baru Jawa, Soedjono pergi ke
Padepokan Jambe Pitu di Gunung Selok, Cilacap. Ia tidak sendiri,
melainkan bersama Hoemardhani bersama Romo Dijat, guru spiritual
Soeharto. "Rama Dijat yang menemukan lokasi padepokan ini, dan Soedjono
yang membangunnya," kata Dr Budyapradipta, pakar sastra Jawa Universitas
Indonesia.
Soeharto sendiri tak asing dengan petilasan di
Cilacap. Ia pernah berziarah ke petilasan Kiai Semar Bodronoyo atau Kaki
Tunggul Sabdodadi Doyo Amongrogo, di sisi selatan Bukit Srandil. ”Dua
hari sebelum kedatangan Pak Harto, lokasi kami kosongkan," kata Adi
Suwarto, juru kunci yang pernah mengantarkan Soeharto berziarah. "Dia
datang malam hari dan hanya sekitar dua jam saja.”
Menurut Romo
Dijat, letak geografis Jambe Pitu memiliki energi paling kuat dan sangat
cocok sebagai tempat menerima dhawuh atau pesan dari leluhur. Kala
Tempo ke sana, petilasan ini diteduhi pohon-pohon akasia dan ramai oleh
puluhan kera. Sedangkan pintu gerbang petilasan Jambe Pitu dibangun dari
batu hitam candi.
Untuk mencapai bangunan petilasan, peziarah
harus melewati jalan berlantai batu hitam sepanjang 300 meter. Luas
kompleks megah itu sekitar 50x30 meter. Dan tembok setinggi dua meter
mengeliling kompleks bangunan.
"Di bangunan utama, berupa
rumah kecil, ada foto Raden Panji Soedijat Prawirokoesoema alias Romo
Dijat," tulis artikel: Soedjono dan 'Orde Dhawuh', Edisi Khusus Majalah
Tempo, 10 Februari 2008.
Di rumah kecil itu, Romo Dijat
memberikan petuah bagi muridnya. Sementara pada bangunan lain, berbentuk
rumah dengan empat kamar besar berlantai keramik warna hijau tua,
Soedjono dan lingkarannya saling berdialog dengan pesan leluhur. "Semua
dhawuh direkam dan dicatat, bahkan diterbitkan sebagai buku kumpulan
dhawuh yang diedarkan di kalangan terbatas," kata Budyapradipta.
0 komentar:
Posting Komentar